“Sassha
bangun!” Teriak seorang wanita dari luar kamarku sembari mengetuk-ngetuk pintu
kamarku dengan lemah lembut.
Wanita
itu adalah wanita yang telah membesarkan dan merawatku dengan penuh kasih
sayang selama ini. Dia adalah ibuku. Ibu
yang amat sangat hebat di mataku. Dia tak pernah mengeluh dengan kehidupan kami
yang serba kekurangan, dia selalu berusaha membuat ku bahagia. Dia juga selalu
mengajarkanku untuk selalu bersikap baik
terhadap semua orang di sekelilingku,ibu juga mengajariku mandiri agar
aku tak jadi seseorang yang manja dan lemah.
Pagi
itu tak seperti pagi-pagi biasanya, aku bangun sangat siang mungkin karena
tidurku yang kurang lelap semalam. Semalam aku memang tidur cukup larut malam,
aku membantu ibu membuat kue donat. Inilah profesi ibuku, penjual kue donat
keliling. ‘KUE DONAT BU LASTRI’ seperti itulah sapaan orang-orang terhadap kue
donat buatan ibuku ini. Rasanya yang sangat enak membuat ibu mempunyai banyak
pelanggan. Kemarin ibu mendapatkan pesanan donat yang sangat banyak sekali
sehingga ibu harus lembur semalam, sebagai seorang anak aku tentu tidak tega
melihat ibuku bekerja sendiri membuat kue sebanyak itu. Walau ibu telah
melarangku, tapi aku tetap bersikeras membantu.
Aku
pun terburu-buru mandi dan kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
Aku berlari menuju halte bus, jarak antara rumah dan sekolahku yang cukup jauh
membuatku harus naik bus umum. Dan...”astaga!!!” Bus yang menuju arah sekolahku
baru saja berangkat. Sepertinya pagi ini aku harus berjuang untuk sampai ke
sekolah. Aku pun tak mau membuang-buang waktu lebih lama lagi, aku segera
melangkahkan kakiku dan berlari menuju arah sekolah. Di tengah perjalanan aku mengehentikan
langkahku, ku rasa aku sudah tidak mampu lagi untuk berlari apalagi perjalananku
masih sangat jauh. Tiba-tiba ada sebuah mobil avanza silver yang berhenti di
dekatku. Ku rasa aku mengenal mobil itu dan ternyata aku memang mengenalnya
sekaligus pemiliknya.
“Sa,
kamu kenapa lari-lari?” Tanya seseorang dari dalam mobil itu.
Dia
adalah Nia teman terbaikku sejak pertama kali aku masuk ke sekolah elit yang
berada di daerah Jakarta Utara itu.
“Aku
bangun kesiangan dan aku ketinggalan Bus, jadi aku lari aja deh sambil nyari
ojek.” Jawabku.
“Sassha...sekolah
kita itu masih berapa meter jauhnya dan kamu sendiri tahukan daerah sini itu
jarang banget ada ojek yang mangkal atau lewat. Bisa-bisa kamu gak ikut
pelajaran pertama dan kedua lho!” Ucap Nia.
“Terus
gimana dong?” Sassha mulai kebingungan.
“Ya
udah, kamu naik aja ke mobil. Kita berangkat sama-sama. Ayo cepetan naik ntar
kita keburu ditutupin pagar lho sama Pak Samsul!” Ajak Nia sambil melihat jam
tangan Volcom di tangan mungilnya yang memang sudah menunjukkan pukul 06:45.
“Iya
deh!” Tanpa membuang-buang waktu terlalu lama aku pun menerima tawaran baik
Nia.
***
Kami
tepat waktu sampai di sekolah. Kalau kami terlambat satu detik saja pasti kami
sudah berada di luar pagar sembari merayu-rayu Pak Samsul satpam sekolah yang
super galak.
“Nyaris
telat!!” Ucap Nia setelah memasuki kelas bersamaku.
Pelajaran
pertama dimulai, pelajaran biologi yang sangat membosankan bagi murid-murid
sekelas bahkan mungkin murid seluruh sekolah. Bukan karena pelajarannya yang
membosankan, tapi ku rasa gurunya lah yang amat sangat membosankan. Lonceng
istirahat berbunyi, seketika terdengar suara riuh bahagia seluruh penghuni di
kelasku. Akhirnya guru membosankan itu keluar dari kelas kami dan sekarang
saatnya aku menyantap bekal yang dibuatkan oleh ibu tadi pagi untukku.
Sepertinya cacing-cacing yang ada di perut kurusku ini sudah mulai berdemo
karena tidak mendapatkan sarapannya. Tadi pagi karena sangat terburu-buru aku
tidak sempat untuk sarapan pagi, tapi ibuku yang sangat hebat itu telah
membuatkanku bekal untuk ku nikmati saat istirahat sekolah.
Ku
buka tempat bekalku yang berwarna merah muda sesuai dengan warna kesukaanku
itu. Ku rasa aku juga menyukai isi di dalamnya. Heump....ibu memang paling tahu
kesukaanku, ibu membuatkanku nasi goreng telur kesukaanku. Nasi goreng buatan
ibu memang tidak ada tandingannya bahkan nasi goreng kantin Mbak Ety yang
selalu ramai oleh murid di sekolah juga tidak seenak nasi goreng buatan ibu.
“Buatan
ibu kamu ya, Sa?” Tanya Nia padaku.
“Iya
dong....dari baunya aja udah keciuman
kalau ini nasi goreng ibuku yang super enak.” Jawabku sembari mencium
aroma nasi goreng yang memang wanginya membuatku semakin lapar.
“Wow!!
Aku jadi lapar juga ni, tapi sayang ya itu cuma cukup buat kamu aja.” Ucap Nia
dengan ekspresi yang agak sedikit kecewa.
“Kalau
kamu mau aku bersedia berbagi nikmatnya masakan ibuku ini denganmu.” Tawarku.
“Makasih
Sa, tapi gak usah aja. Kasian Kantin Mbak Ety kalau gak ada aku....hahaha”
Gurau Nia tertawa sambil berjalan menuju kantin.
***
Bel
pulang sekolah pun berbunyi. Aku segera pulang ke rumah. Aku sudah tidak sabar
bertemu dengan ibu untuk memberi tahu kabar baik padanya. Ketika aku ingin
membuka pintu aku tidak sengaja mendengar sedikit pembicaraan ibu dengan nenek.
“Cepat
atau lambat dia pasti akan mengetahui semua tentangnya.” Ucap nenek.
“Nya??
Siapa yang nenek maksud dengan ‘Dia’?” Tanyaku sambil menutup pintu yang
terbuat dari triplek yang sudah mulai susah untuk dikunci.
Ibu
dan nenek sepertinya agak sedikit terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.
“Bu..bukan siapa-siapa kok, nak. Kamu udah pulang, pasti kamu laparkan? Ayo
makan!” jawab ibu gugup dan sepertinya ada yang di sembunyikan oleh ibu dan
nenek, tapi aku tak ingin terlalu banyak bertanya bak seorang polisi yang
sedang mengintrogasi dua orang maling ayam.
“Aku
belum lapar kok, bu. Aku sengaja secepatnya pulang ke rumah karena aku ingin
menyampaikan kabar bahagia pada ibu.” Ucapku sembari tersenyum manis.
“Kabar
apa sayang?” Tanya ibu penasaran.
“Tadi
aku ngomong sama Mbak Ety, dia mengizinkan kita untuk menitipkan donat buatan
ibu di kantinnya dan mulai besok ibu tidak perlu lagi berkeliling dari tempat
satu ke tempat lainnya, ibu hanya tinggal membuat dan menunggu hasilnya. Aku
yakin donat buatan ibu yang enak itu pasti sangat di sukai oleh anak-anak di
sekolah elit itu.” Dengan bersemangat aku menyampaikan kabar baik itu pada ibu.
“Kamu
serius? Alhamdulillah, makasih ya sayang!” Syukur ibu dengan senyum bahagia.
***
Malam
bertabur bintang, aku duduk di bawah pohon di halaman rumahku yang sejuk sambil
mendengarkan alunan lagu Tentang Rasa yang dinyayikan oleh Astrid dari radio
soakku. Tiba-tiba terlintas di benakku tentang percakapan ibu dan nenek tadi
siang yang tak sengaja ku dengar “Cepat
atau lambat dia pasti akan mengetahui semua tentangnya.” Siapa sebenarnya
yang dimaksud ‘NYA’ oleh nenek, apa sebenarnya yang disembunyikan oleh mereka?
Mungkin aku harus mencari tahu sendiri tentang semua yang dimaksud oleh nenek.
Tak
lama kemudian aku masuk ke dalam kamarku yang serba berwarna merah muda, aku
mengambil buku harianku pemberian ibu saat ulang tahunku yang ke-16 8 bulan
yang lalu. Ku buka lembar kosong di buku harian itu, ku buka tutup pulpen
tintaku, ku tulis apa yang ada dibenakku.
Dear
Diary,
Diary,
siang ini tanpa disengaja aku
mendengarkan pembicaraan ibu dan nenek. Mereka mengatakan sesuatu yang
kini membuatku bertanya-tanya. Apa yang dimaksud nenek dengan –nya
adalah aku??? Apa semua ini ada sangkut pautnya dengan jati diri ayahku yang
tak pernah ku temui???
Selama ini aku memang tak pernah bertemu
dan bahkan aku tak pernah tahu bagaimana sosok ayahku. Aku tak mau bertanya
lagi pada ibuku karena terakhir kali aku bertanya soal ayah 11 tahun yang lalu
pada ibu, ibu hanya menangis sambil memeluk erat tubuh mungilku dan berkata
“ayahmu adalah ibu”. Sejak saat itu aku tak pernah lagi mencoba bertanya karena
aku tak mau membuat wanita yang sangat aku sayangi itu meneteskan air matanya.
***
Keesokan harinya setelah pulang dari
sekolah aku membantu ibu mengantarkan pesanan donat ke rumah Bu Sinta,
langganan ibu. Tiba-tiba di tengah perjalanan aku bertemu dengan seorang wanita
seumuran ibuku dan dia mengahampiriku.
“Jadi ini anak dari pelacur yang sekarang
beralih profesi menjadi penjual donat itu?” Ucap wanita itu padaku.
Aku terkejut dengan ucapan wanita itu,
“Maksud anda?” Tanyaku padanya dengan nada agak sedikit tinggi.
“Ya....ibumu itu adalah seorang
pelacur!!” Ucap wanita itu lagi dengan nada mengejek.
“Jaga ucapan anda!! Ibu saya seorang
wanita hebat, dia tidak mungkin seperti itu. Saya rasa anda salah orang,
permisi!” Aku menyangkal ucapan wanita itu dan kemudian melangkah pergi
meninggalkannya, tapi langkah kakiku terhenti saat mendengarkan ucapan
selanjutnya yang keluar dari bibir merah merona perempuan itu.
“Apa kau tahu siapa ayahmu? Tidak kan? Apa
ibumu pernah bercerita tentang ayahmu? Aku yakin ibumu sendiri tak tahu siapa
lelaki yang telah memberinya seorang anak perempuan sepertimu.”
Mendengar ucapan terakhir perempuan itu
aku meneteskan air mataku dan tanpa di sengaja aku menjatuhkan bungkusan donat
yang seharusnya ku antar ke pemesan. Aku berlari sekencang-kencangnya menuju
rumah petakku bersama ibu, dari ke jauhan ku lihat ibu sedang menyiram tanaman
di halaman kecil depan rumahku, ibu memanggilku tetapi aku tak memperdulikan
panggilan ibu. Aku terus berlari masuk dan menuju kamarku. Ibu bingung melihat
kelakuanku yang aneh, kemudian menyusulku masuk ke dalam kamar.
“Sassha sayang kamu kenapa? Kenapa kamu
menangis? Siapa yang membuatmu seperti ini?” Tanya ibu khawatir padaku.
“Siapa ayahku bu? Siapa?” tanyaku
membentak ibu dengan air mata membasahi pipiku.
Ibu tersentak mendengar pertanyaanku yang
membentaknya dan seketika air mata membasahi pipinya.
“Kenapa bu? Ibu gak bisa jawabkan? Ibu
gak tahukan siapa ayahku karena terlalu banyak laki-laki yang meniduri ibu?”
PRRRAAAKKK!!!!!!! Ibu menampar pipiku
mungkin perkataanku sudah sangat membuat hati ibu terluka.
“Jadi benar bu? Ibu adalah seorang
pelacur?” tanyaku lagi tanpa memikirkan perasaan ibu yang mungkin sudah
terpecah berkeping-keping, “Ibu gak bisa jawab? Berarti semua itu benar?”
Tanyaku lagi karena ibu tak menjawab pertanyaanku, aku pun pergi meninggalkan
ibu sendiri di kamar kecilku yang kini telah dibanjiri air mata Ibu dan aku.
Aku langkahkan kakiku dengan sempoyongan
mengikuti hatiku dan ku rasa saat ini aku butuh teman yang bisa memberiku
masukan dan mau mendengarkan isi hatiku. Ku rasa orang itu adalah teman baikku,
Nia. Aku pun melangkah menuju rumah Nia yang memang tak jauh dari rumahku. Tak
lama kemudian aku pun tiba di rumah Nia. Aku memencet bel yang berada di teras
rumah Nia yang amat megah. Kemudian sosok Nia pun keluar dari balik pintu ukir
yang indah.
“Kamu kenapa? Ayo masuk.” Sepertinya Nia
sedikit terkejut dengan kedatanganku yang sangat mendadak dan dengan kondisiku
yang sangat menyedihkan.
Aku pun menceritakan semua kejadian yang
ku alami dari aku bertemu wanita yang tak ku kenal sampai pertengkaran hebatku
bersama ibu.
***
Sesuai nasehat yang diberikan Nia padaku,
aku menemui ibu pagi ini. Aku akan meminta maaf pada ibu atas kata-kataku yang
sangat kurang ajar pada ibu. Tak seharusnya aku berkata sekasar itu padanya,
mungkin saat ini dia dengan mata kembangnya akibat menangis dan tidak tidur
memikirkan aku yang tak kunjung pulang masih terbaring lesu di atas kasur
kerasnya.
Perlahan aku langkahkan kakiku memasuki
rumah petakku yang tak terkunci, aku mencari ibu. Ku masuki kamar ibu dan
ternyata benar yang ku pikirkan, ibu masih terbaring di kasur kerasnya.
“Bu, ma...maafkan aku.” Ucapku gugup pada
ibu.
Seketika ibu memutar badannya dan
memandangiku kemudian bangun dari baringnya, “ Sassha!!!!” ibu melangkah ke
arahku dan memeluk erat diriku.
“Bu, Sassha menyesal atas apa yang sudah
sassha lakukan pada ibu kemaren.”
“Tidak sayang, kamu tidak salah. Mungkin
sekarang waktu yang tepat untuk kamu tahu semuanya. Kamu telah tumbuh menjadi
gadis yang baik.” Kata-kata yang keluar dari bibir mungil ibu membuatku
melepaskan pelukan ibu. “Sayang sekarang kamu ikut ibu ya?” ibu memegang dan
menarik tanganku.
Ternyata ibu membawaku ke sebuah
pemakaman dan berhenti di dua buah makam yang bernisan ‘SRI SULISTYAWATI BINTI
HERMAN PRAJOKO’ dan yang di sebelahnya lagi bernisankan ‘BAMBANG BUDILASMONO
BIN DEWO DARMOGO’. Aku bingung kenapa ibu mengajakku ke tempat ini, tapi aku
tak mau lagi banyak bertanya.
“Sa, ini adalah makam ibu dan ayah
kandungmu.” Ibu memegangi salah satu nisan itu.
“Apa?????” Aku tak percaya dengan ucapan
ibu.
“Mungkin ini berat buat kamu, tapi inilah
yang harus kamu tahu. Ibu akui 16 tahun yang lalu ibu memang bekerja sebagai
wanita penghibur lelaki hidung belang. Ibu punya seorang sahabat yang sangat
baik dan dia menikah dengan lelaki yang baik pula. Tiga bulan setelah
pernikahannya dia mengandung seorang bayi, tapi nasibnya kurang baik. Suaminya
meninggal 8 bulan sebelum kelahiran sang bayi akibat kecelakaan.” Air mata ibu
mulai menetes lagi. ”dan 1 bulan kemudian setelah dia melahirkan seorang bayi
perempuan yang sangat lucu dan cantik dia meninggal dunia. Sebelum meninggal
dia menitipkan bayi itu pada ibu karena dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa
lagi di dunia kecuali ibu,sahabatnya. Sejak saat itu ibu berhenti dengan
profesi ibu yang tidak baik dan memulai hidup baru yang lebih baik bersama
seorang bayi perempuan dan ibu yang selalu ada di samping ibu. Sahabat ibu itu
adalah ibu kandungmu yang sudah berada di surga bersama ayahmu dan bayi
perempuan itu adalah kamu Vanessha Tyalasmono.”
Aku pun kaku dan tak dapat berkata
sepatah katapun, aku hanya bisa menangis dan memeluki dua nisan itu.
“Tapi kamu tak perlu khawatir, ibumu tak
seperti ibu. Dia berbeda profesi dengan ibu. Dia adalah seorang yang baik dan
selalu mencari kehalalan.” Aku pun melangkah ke arah ibu duduk dan memeluk ibu
erat-erat.
“Maafkan aku bu, aku menyesal karena
telah membuat ibu terluka. Aku tak perduli dengan kehidupan lama ibu, bagiku
ibu adalah ibu terbaik yang pernah ku miliki. Aku sangat menyayangi ibu dan aku
tak ingin kehilangan ibu.” Tetesan air mata telah membanjiri pemakaman pagi
itu.
Sejak saat itu aku kembali dengan
kehidupanku bersama ibu dan nenek seperti hari-hariku yang indah sebelum aku
bertemu dengan wanita yang tak ku kenal dan sampai sekarang sama sekali tak aku
kenal, bahkan sekarang kehidupanku jauh lebih indah.
~THE END~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar