Halaman

Selasa, 05 Maret 2013

Ibu Terbaikku




“Sassha bangun!” Teriak seorang wanita dari luar kamarku sembari mengetuk-ngetuk pintu kamarku dengan lemah lembut.
Wanita itu adalah wanita yang telah membesarkan dan merawatku dengan penuh kasih sayang selama ini. Dia adalah ibuku.  Ibu yang amat sangat hebat di mataku. Dia tak pernah mengeluh dengan kehidupan kami yang serba kekurangan, dia selalu berusaha membuat ku bahagia. Dia juga selalu mengajarkanku untuk selalu bersikap baik  terhadap semua orang di sekelilingku,ibu juga mengajariku mandiri agar aku tak jadi seseorang yang manja dan lemah.
Pagi itu tak seperti pagi-pagi biasanya, aku bangun sangat siang mungkin karena tidurku yang kurang lelap semalam. Semalam aku memang tidur cukup larut malam, aku membantu ibu membuat kue donat. Inilah profesi ibuku, penjual kue donat keliling. ‘KUE DONAT BU LASTRI’ seperti itulah sapaan orang-orang terhadap kue donat buatan ibuku ini. Rasanya yang sangat enak membuat ibu mempunyai banyak pelanggan. Kemarin ibu mendapatkan pesanan donat yang sangat banyak sekali sehingga ibu harus lembur semalam, sebagai seorang anak aku tentu tidak tega melihat ibuku bekerja sendiri membuat kue sebanyak itu. Walau ibu telah melarangku, tapi aku tetap bersikeras membantu.
Aku pun terburu-buru mandi dan kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Aku berlari menuju halte bus, jarak antara rumah dan sekolahku yang cukup jauh membuatku harus naik bus umum. Dan...”astaga!!!” Bus yang menuju arah sekolahku baru saja berangkat. Sepertinya pagi ini aku harus berjuang untuk sampai ke sekolah. Aku pun tak mau membuang-buang waktu lebih lama lagi, aku segera melangkahkan kakiku dan berlari menuju arah sekolah. Di tengah perjalanan aku mengehentikan langkahku, ku rasa aku sudah tidak mampu lagi untuk berlari apalagi perjalananku masih sangat jauh. Tiba-tiba ada sebuah mobil avanza silver yang berhenti di dekatku. Ku rasa aku mengenal mobil itu dan ternyata aku memang mengenalnya sekaligus pemiliknya.
“Sa, kamu kenapa lari-lari?” Tanya seseorang dari dalam mobil itu.
Dia adalah Nia teman terbaikku sejak pertama kali aku masuk ke sekolah elit yang berada di daerah Jakarta Utara itu.
“Aku bangun kesiangan dan aku ketinggalan Bus, jadi aku lari aja deh sambil nyari ojek.” Jawabku.
“Sassha...sekolah kita itu masih berapa meter jauhnya dan kamu sendiri tahukan daerah sini itu jarang banget ada ojek yang mangkal atau lewat. Bisa-bisa kamu gak ikut pelajaran pertama dan kedua lho!” Ucap Nia.
“Terus gimana dong?” Sassha mulai kebingungan.
“Ya udah, kamu naik aja ke mobil. Kita berangkat sama-sama. Ayo cepetan naik ntar kita keburu ditutupin pagar lho sama Pak Samsul!” Ajak Nia sambil melihat jam tangan Volcom di tangan mungilnya yang memang sudah menunjukkan pukul 06:45.
“Iya deh!” Tanpa membuang-buang waktu terlalu lama aku pun menerima tawaran baik Nia.
***

Kami tepat waktu sampai di sekolah. Kalau kami terlambat satu detik saja pasti kami sudah berada di luar pagar sembari merayu-rayu Pak Samsul satpam sekolah yang super galak.
“Nyaris telat!!” Ucap Nia setelah memasuki kelas bersamaku.
Pelajaran pertama dimulai, pelajaran biologi yang sangat membosankan bagi murid-murid sekelas bahkan mungkin murid seluruh sekolah. Bukan karena pelajarannya yang membosankan, tapi ku rasa gurunya lah yang amat sangat membosankan. Lonceng istirahat berbunyi, seketika terdengar suara riuh bahagia seluruh penghuni di kelasku. Akhirnya guru membosankan itu keluar dari kelas kami dan sekarang saatnya aku menyantap bekal yang dibuatkan oleh ibu tadi pagi untukku. Sepertinya cacing-cacing yang ada di perut kurusku ini sudah mulai berdemo karena tidak mendapatkan sarapannya. Tadi pagi karena sangat terburu-buru aku tidak sempat untuk sarapan pagi, tapi ibuku yang sangat hebat itu telah membuatkanku bekal untuk ku nikmati saat istirahat sekolah.
Ku buka tempat bekalku yang berwarna merah muda sesuai dengan warna kesukaanku itu. Ku rasa aku juga menyukai isi di dalamnya. Heump....ibu memang paling tahu kesukaanku, ibu membuatkanku nasi goreng telur kesukaanku. Nasi goreng buatan ibu memang tidak ada tandingannya bahkan nasi goreng kantin Mbak Ety yang selalu ramai oleh murid di sekolah juga tidak seenak nasi goreng buatan ibu.
“Buatan ibu kamu ya, Sa?” Tanya Nia padaku.
“Iya dong....dari baunya aja udah keciuman  kalau ini nasi goreng ibuku yang super enak.” Jawabku sembari mencium aroma nasi goreng yang memang wanginya membuatku semakin lapar.
“Wow!! Aku jadi lapar juga ni, tapi sayang ya itu cuma cukup buat kamu aja.” Ucap Nia dengan ekspresi yang agak sedikit kecewa.
“Kalau kamu mau aku bersedia berbagi nikmatnya masakan ibuku ini denganmu.” Tawarku.
“Makasih Sa, tapi gak usah aja. Kasian Kantin Mbak Ety kalau gak ada aku....hahaha” Gurau Nia tertawa sambil berjalan menuju kantin.
***

Bel pulang sekolah pun berbunyi. Aku segera pulang ke rumah. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan ibu untuk memberi tahu kabar baik padanya. Ketika aku ingin membuka pintu aku tidak sengaja mendengar sedikit pembicaraan ibu dengan nenek.
“Cepat atau lambat dia pasti akan mengetahui semua tentangnya.” Ucap nenek.
“Nya?? Siapa yang nenek maksud dengan ‘Dia’?” Tanyaku sambil menutup pintu yang terbuat dari triplek yang sudah mulai susah untuk dikunci.
Ibu dan nenek sepertinya agak sedikit terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. “Bu..bukan siapa-siapa kok, nak. Kamu udah pulang, pasti kamu laparkan? Ayo makan!” jawab ibu gugup dan sepertinya ada yang di sembunyikan oleh ibu dan nenek, tapi aku tak ingin terlalu banyak bertanya bak seorang polisi yang sedang mengintrogasi dua orang maling ayam.
“Aku belum lapar kok, bu. Aku sengaja secepatnya pulang ke rumah karena aku ingin menyampaikan kabar bahagia pada ibu.” Ucapku sembari tersenyum manis.
“Kabar apa sayang?” Tanya ibu penasaran.
“Tadi aku ngomong sama Mbak Ety, dia mengizinkan kita untuk menitipkan donat buatan ibu di kantinnya dan mulai besok ibu tidak perlu lagi berkeliling dari tempat satu ke tempat lainnya, ibu hanya tinggal membuat dan menunggu hasilnya. Aku yakin donat buatan ibu yang enak itu pasti sangat di sukai oleh anak-anak di sekolah elit itu.” Dengan bersemangat aku menyampaikan kabar baik itu pada ibu.
“Kamu serius? Alhamdulillah, makasih ya sayang!” Syukur ibu dengan senyum bahagia.
***

Malam bertabur bintang, aku duduk di bawah pohon di halaman rumahku yang sejuk sambil mendengarkan alunan lagu Tentang Rasa yang dinyayikan oleh Astrid dari radio soakku. Tiba-tiba terlintas di benakku tentang percakapan ibu dan nenek tadi siang yang tak sengaja ku dengar “Cepat atau lambat dia pasti akan mengetahui semua tentangnya.” Siapa sebenarnya yang dimaksud ‘NYA’ oleh nenek, apa sebenarnya yang disembunyikan oleh mereka? Mungkin aku harus mencari tahu sendiri tentang semua yang dimaksud oleh nenek.
Tak lama kemudian aku masuk ke dalam kamarku yang serba berwarna merah muda, aku mengambil buku harianku pemberian ibu saat ulang tahunku yang ke-16 8 bulan yang lalu. Ku buka lembar kosong di buku harian itu, ku buka tutup pulpen tintaku, ku tulis apa yang ada dibenakku.
Dear Diary,
Diary, siang ini tanpa disengaja aku  mendengarkan pembicaraan ibu dan nenek. Mereka mengatakan sesuatu yang kini membuatku bertanya-tanya. Apa yang dimaksud nenek dengan nya adalah aku??? Apa semua ini ada sangkut pautnya dengan jati diri ayahku yang tak pernah ku temui???
Selama ini aku memang tak pernah bertemu dan bahkan aku tak pernah tahu bagaimana sosok ayahku. Aku tak mau bertanya lagi pada ibuku karena terakhir kali aku bertanya soal ayah 11 tahun yang lalu pada ibu, ibu hanya menangis sambil memeluk erat tubuh mungilku dan berkata “ayahmu adalah ibu”. Sejak saat itu aku tak pernah lagi mencoba bertanya karena aku tak mau membuat wanita yang sangat aku sayangi itu meneteskan air matanya.
***

Keesokan harinya setelah pulang dari sekolah aku membantu ibu mengantarkan pesanan donat ke rumah Bu Sinta, langganan ibu. Tiba-tiba di tengah perjalanan aku bertemu dengan seorang wanita seumuran ibuku dan dia mengahampiriku.
“Jadi ini anak dari pelacur yang sekarang beralih profesi menjadi penjual donat itu?” Ucap wanita itu padaku.
Aku terkejut dengan ucapan wanita itu, “Maksud anda?” Tanyaku padanya dengan nada agak sedikit tinggi.
“Ya....ibumu itu adalah seorang pelacur!!” Ucap wanita itu lagi dengan nada mengejek.
“Jaga ucapan anda!! Ibu saya seorang wanita hebat, dia tidak mungkin seperti itu. Saya rasa anda salah orang, permisi!” Aku menyangkal ucapan wanita itu dan kemudian melangkah pergi meninggalkannya, tapi langkah kakiku terhenti saat mendengarkan ucapan selanjutnya yang keluar dari bibir merah merona perempuan itu.
“Apa kau tahu siapa ayahmu? Tidak kan? Apa ibumu pernah bercerita tentang ayahmu? Aku yakin ibumu sendiri tak tahu siapa lelaki yang telah memberinya seorang anak perempuan sepertimu.”
Mendengar ucapan terakhir perempuan itu aku meneteskan air mataku dan tanpa di sengaja aku menjatuhkan bungkusan donat yang seharusnya ku antar ke pemesan. Aku berlari sekencang-kencangnya menuju rumah petakku bersama ibu, dari ke jauhan ku lihat ibu sedang menyiram tanaman di halaman kecil depan rumahku, ibu memanggilku tetapi aku tak memperdulikan panggilan ibu. Aku terus berlari masuk dan menuju kamarku. Ibu bingung melihat kelakuanku yang aneh, kemudian menyusulku masuk ke dalam kamar.
“Sassha sayang kamu kenapa? Kenapa kamu menangis? Siapa yang membuatmu seperti ini?” Tanya ibu khawatir padaku.
“Siapa ayahku bu? Siapa?” tanyaku membentak ibu dengan air mata membasahi pipiku.
Ibu tersentak mendengar pertanyaanku yang membentaknya dan seketika air mata membasahi pipinya.
“Kenapa bu? Ibu gak bisa jawabkan? Ibu gak tahukan siapa ayahku karena terlalu banyak laki-laki yang meniduri ibu?”
PRRRAAAKKK!!!!!!! Ibu menampar pipiku mungkin perkataanku sudah sangat membuat hati ibu terluka.
“Jadi benar bu? Ibu adalah seorang pelacur?” tanyaku lagi tanpa memikirkan perasaan ibu yang mungkin sudah terpecah berkeping-keping, “Ibu gak bisa jawab? Berarti semua itu benar?” Tanyaku lagi karena ibu tak menjawab pertanyaanku, aku pun pergi meninggalkan ibu sendiri di kamar kecilku yang kini telah dibanjiri air mata Ibu dan aku.
Aku langkahkan kakiku dengan sempoyongan mengikuti hatiku dan ku rasa saat ini aku butuh teman yang bisa memberiku masukan dan mau mendengarkan isi hatiku. Ku rasa orang itu adalah teman baikku, Nia. Aku pun melangkah menuju rumah Nia yang memang tak jauh dari rumahku. Tak lama kemudian aku pun tiba di rumah Nia. Aku memencet bel yang berada di teras rumah Nia yang amat megah. Kemudian sosok Nia pun keluar dari balik pintu ukir yang indah.
“Kamu kenapa? Ayo masuk.” Sepertinya Nia sedikit terkejut dengan kedatanganku yang sangat mendadak dan dengan kondisiku yang sangat menyedihkan.
Aku pun menceritakan semua kejadian yang ku alami dari aku bertemu wanita yang tak ku kenal sampai pertengkaran hebatku bersama ibu.
***

Sesuai nasehat yang diberikan Nia padaku, aku menemui ibu pagi ini. Aku akan meminta maaf pada ibu atas kata-kataku yang sangat kurang ajar pada ibu. Tak seharusnya aku berkata sekasar itu padanya, mungkin saat ini dia dengan mata kembangnya akibat menangis dan tidak tidur memikirkan aku yang tak kunjung pulang masih terbaring lesu di atas kasur kerasnya.
Perlahan aku langkahkan kakiku memasuki rumah petakku yang tak terkunci, aku mencari ibu. Ku masuki kamar ibu dan ternyata benar yang ku pikirkan, ibu masih terbaring di kasur kerasnya.
“Bu, ma...maafkan aku.” Ucapku gugup pada ibu.
Seketika ibu memutar badannya dan memandangiku kemudian bangun dari baringnya, “ Sassha!!!!” ibu melangkah ke arahku dan memeluk erat diriku.
“Bu, Sassha menyesal atas apa yang sudah sassha lakukan pada ibu kemaren.”
“Tidak sayang, kamu tidak salah. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk kamu tahu semuanya. Kamu telah tumbuh menjadi gadis yang baik.” Kata-kata yang keluar dari bibir mungil ibu membuatku melepaskan pelukan ibu. “Sayang sekarang kamu ikut ibu ya?” ibu memegang dan menarik tanganku.
Ternyata ibu membawaku ke sebuah pemakaman dan berhenti di dua buah makam yang bernisan ‘SRI SULISTYAWATI BINTI HERMAN PRAJOKO’ dan yang di sebelahnya lagi bernisankan ‘BAMBANG BUDILASMONO BIN DEWO DARMOGO’. Aku bingung kenapa ibu mengajakku ke tempat ini, tapi aku tak mau lagi banyak bertanya.
“Sa, ini adalah makam ibu dan ayah kandungmu.” Ibu memegangi salah satu nisan itu.
“Apa?????” Aku tak percaya dengan ucapan ibu.
“Mungkin ini berat buat kamu, tapi inilah yang harus kamu tahu. Ibu akui 16 tahun yang lalu ibu memang bekerja sebagai wanita penghibur lelaki hidung belang. Ibu punya seorang sahabat yang sangat baik dan dia menikah dengan lelaki yang baik pula. Tiga bulan setelah pernikahannya dia mengandung seorang bayi, tapi nasibnya kurang baik. Suaminya meninggal 8 bulan sebelum kelahiran sang bayi akibat kecelakaan.” Air mata ibu mulai menetes lagi. ”dan 1 bulan kemudian setelah dia melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat lucu dan cantik dia meninggal dunia. Sebelum meninggal dia menitipkan bayi itu pada ibu karena dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia kecuali ibu,sahabatnya. Sejak saat itu ibu berhenti dengan profesi ibu yang tidak baik dan memulai hidup baru yang lebih baik bersama seorang bayi perempuan dan ibu yang selalu ada di samping ibu. Sahabat ibu itu adalah ibu kandungmu yang sudah berada di surga bersama ayahmu dan bayi perempuan itu adalah kamu Vanessha Tyalasmono.”
Aku pun kaku dan tak dapat berkata sepatah katapun, aku hanya bisa menangis dan memeluki dua nisan itu.
“Tapi kamu tak perlu khawatir, ibumu tak seperti ibu. Dia berbeda profesi dengan ibu. Dia adalah seorang yang baik dan selalu mencari kehalalan.” Aku pun melangkah ke arah ibu duduk dan memeluk ibu erat-erat.
“Maafkan aku bu, aku menyesal karena telah membuat ibu terluka. Aku tak perduli dengan kehidupan lama ibu, bagiku ibu adalah ibu terbaik yang pernah ku miliki. Aku sangat menyayangi ibu dan aku tak ingin kehilangan ibu.” Tetesan air mata telah membanjiri pemakaman pagi itu.
Sejak saat itu aku kembali dengan kehidupanku bersama ibu dan nenek seperti hari-hariku yang indah sebelum aku bertemu dengan wanita yang tak ku kenal dan sampai sekarang sama sekali tak aku kenal, bahkan sekarang kehidupanku jauh lebih indah.


~THE END~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar